masukkan script iklan disini
Jakarta, penakita.info
Mengenai hal ini, seringkali timbul pertanyaan tentang hukum tukar uang Lebaran dalam perspektif agama dan syariat. Pasalnya kerap ditemukan orang praktik jasa penukaran uang yang dianggap menormalisasikan praktik riba. Lalu, bagaimana Islam memandang ini?
Hukum Tukar Uang Lebaran dalam Islam
Dikutip dari laman Nahdlatul Ulama (NU), dalam Islam, hukum menukar uang lebaran bisa dilihat dari 2 sisi.
Pertama dari praktik penukaran uang itu (ma'qud 'alaih), dan kedua dari jasa orang yang menyediakan jasa pertukarannya (ma'qud 'alaih). Berikut penjelasannya.
1. Hukumnya Haram Jika Dilakukan dalam Praktik Riba
Kalau yang dilihat dari praktik penukaran uang itu (ma'qud 'alaih) adalah uangnya, maka penukaran uang yang dilakukan dengan kelebihan jumlahnya maka hukumnya haram.
Dilansir laman Majelis Ulama Indonesia (MUI), jika berbeda dengan jumlah yang ditukarkan maka dianggap praktik riba dalam keadaan tunai.
2. Hukumnya Boleh Jika Tergolong Transaksi Ijarah
Jika dilihat dari jasanya, hukum penukaran uang dengan kelebihan tertentu menurut syariat adalah mubah (boleh). Alasannya, karena transaksi tersebut tergolong ijarah (sejenis jual beli yang produknya berupa jasa, bukan barang).
Dalam kitab Fathul Mujibil Qarib karya Kiai Afifuddin Muhajir, dijelaskan bahwa ijarah bukan termasuk riba.
"Ijarah (sewa) sebenarnya adalah jual-beli, hanya bedanya ijarah menerima pembatasan tempo. Produk pada ijarah bukan pada barang, tetapi manfaat (jasa) dari sebuah barang atau jasa dari sebuah tenaga (aktivitas)."
Selain itu, menurut ulama madzhab Syafii, Hanafi dan pendapat yang dalam madzhab Hanbali, hukumnya boleh menukar uang Lebaran asalkan dilakukan secara kontan bukan secara utang.
Perbedaaan pandangan hukum tukar uang Lebaran ada karena ada yang berbeda dalam memahami akad penukaran uang itu sendiri.
Pertama, ada orang melihat uang sebagai barang yang dipertukarkan, sedangkan yang lainnya mempertimbangkan jasa orang yang menukarkan uang.
Tapi sejatinya sifat uang atau barang lain juga bisa mengikuti akad. Sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Nawawi al-Bantani dalam kitab Nihayatuz Zain:
"Barang terkadang mengikut sebagaimana jika seseorang menyewa seorang perempuan untuk menyusui anaknya, maka itu boleh berdasarkan nash Al-Quran. Yang paling shahih, titik akadnya terletak pada aktivitas mengasuh balita tersebut oleh seorang perempuan yang meletakkannya di pangkuannya, menyuapinya dengan susu, dan memerahnya sesuai kebutuhan. Titik akadnya (ma'qud 'alaih) terletak pada aktivitas si perempuan. Sementara asi menjadi hak balita sebagai konsekuensi dari aktivitas pengasuhan."
Jadi jika ada nilai lebih yang perlu dibayar oleh penukar uang ke penyedia jasa, hal itu dimaksudkan sebagai upah atas jasanya. Tarif jasa ini diperbolehkan dengan syarat dimaksudkan untuk membayar jasa penukaran uang tersebut dan bukan pada uangnya (barang yang dipertukarkan).
Dalam Al-Qur'an surah At-Thalaq ayat 6 juga menyebut perihal tarif atas suatu jasa. Hal ini berkenaan perempuan sebagai penyedia jasa pemberi asi (air susu ibu). Allah SWT berfirman:
... فَاِنْ اَرْضَعْنَ لَكُمْ فَاٰتُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّۚ ..
Artinya: "Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)-mu maka berikanlah imbalannya kepada mereka." (QS At-Thalaq:6)
Dalam kitab Kifayatul Akhyar, Abu Bakar Al-Hisni menjelaskan bahwa "Allah SWT mengaitkan upah di situ (pada Surat At-Thalaq: 6) dengan aktivitas menyusuinya, bukan pada asinya."
Dari penjelasan di atas, tarif yang perlu dibayarkan saat transaksi penukaran uang itu boleh-boleh saja asalkan dimaksudkan untuk jasa yang disediakannya. Untuk besaran tarifnya bisa disesuaikan lewat kesepakatan kedua belah pihak. Wallahu a'lam.
Sumber : detikhikmah.com
Tukar uang Lebaran jadi tradisi menjelang perayaan Idul Fitri di Indonesia. Biasanya, banyak orang akan menukarkan uang baru untuk dibagian sebagai THR kepada anak-anak, sanak saudara, maupun orang terdekat.
Mengenai hal ini, seringkali timbul pertanyaan tentang hukum tukar uang Lebaran dalam perspektif agama dan syariat. Pasalnya kerap ditemukan orang praktik jasa penukaran uang yang dianggap menormalisasikan praktik riba. Lalu, bagaimana Islam memandang ini?
Hukum Tukar Uang Lebaran dalam Islam
Dikutip dari laman Nahdlatul Ulama (NU), dalam Islam, hukum menukar uang lebaran bisa dilihat dari 2 sisi.
Pertama dari praktik penukaran uang itu (ma'qud 'alaih), dan kedua dari jasa orang yang menyediakan jasa pertukarannya (ma'qud 'alaih). Berikut penjelasannya.
1. Hukumnya Haram Jika Dilakukan dalam Praktik Riba
Kalau yang dilihat dari praktik penukaran uang itu (ma'qud 'alaih) adalah uangnya, maka penukaran uang yang dilakukan dengan kelebihan jumlahnya maka hukumnya haram.
Dilansir laman Majelis Ulama Indonesia (MUI), jika berbeda dengan jumlah yang ditukarkan maka dianggap praktik riba dalam keadaan tunai.
2. Hukumnya Boleh Jika Tergolong Transaksi Ijarah
Jika dilihat dari jasanya, hukum penukaran uang dengan kelebihan tertentu menurut syariat adalah mubah (boleh). Alasannya, karena transaksi tersebut tergolong ijarah (sejenis jual beli yang produknya berupa jasa, bukan barang).
Dalam kitab Fathul Mujibil Qarib karya Kiai Afifuddin Muhajir, dijelaskan bahwa ijarah bukan termasuk riba.
"Ijarah (sewa) sebenarnya adalah jual-beli, hanya bedanya ijarah menerima pembatasan tempo. Produk pada ijarah bukan pada barang, tetapi manfaat (jasa) dari sebuah barang atau jasa dari sebuah tenaga (aktivitas)."
Selain itu, menurut ulama madzhab Syafii, Hanafi dan pendapat yang dalam madzhab Hanbali, hukumnya boleh menukar uang Lebaran asalkan dilakukan secara kontan bukan secara utang.
Perbedaaan pandangan hukum tukar uang Lebaran ada karena ada yang berbeda dalam memahami akad penukaran uang itu sendiri.
Pertama, ada orang melihat uang sebagai barang yang dipertukarkan, sedangkan yang lainnya mempertimbangkan jasa orang yang menukarkan uang.
Tapi sejatinya sifat uang atau barang lain juga bisa mengikuti akad. Sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Nawawi al-Bantani dalam kitab Nihayatuz Zain:
"Barang terkadang mengikut sebagaimana jika seseorang menyewa seorang perempuan untuk menyusui anaknya, maka itu boleh berdasarkan nash Al-Quran. Yang paling shahih, titik akadnya terletak pada aktivitas mengasuh balita tersebut oleh seorang perempuan yang meletakkannya di pangkuannya, menyuapinya dengan susu, dan memerahnya sesuai kebutuhan. Titik akadnya (ma'qud 'alaih) terletak pada aktivitas si perempuan. Sementara asi menjadi hak balita sebagai konsekuensi dari aktivitas pengasuhan."
Jadi jika ada nilai lebih yang perlu dibayar oleh penukar uang ke penyedia jasa, hal itu dimaksudkan sebagai upah atas jasanya. Tarif jasa ini diperbolehkan dengan syarat dimaksudkan untuk membayar jasa penukaran uang tersebut dan bukan pada uangnya (barang yang dipertukarkan).
Dalam Al-Qur'an surah At-Thalaq ayat 6 juga menyebut perihal tarif atas suatu jasa. Hal ini berkenaan perempuan sebagai penyedia jasa pemberi asi (air susu ibu). Allah SWT berfirman:
... فَاِنْ اَرْضَعْنَ لَكُمْ فَاٰتُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّۚ ..
Artinya: "Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)-mu maka berikanlah imbalannya kepada mereka." (QS At-Thalaq:6)
Dalam kitab Kifayatul Akhyar, Abu Bakar Al-Hisni menjelaskan bahwa "Allah SWT mengaitkan upah di situ (pada Surat At-Thalaq: 6) dengan aktivitas menyusuinya, bukan pada asinya."
Dari penjelasan di atas, tarif yang perlu dibayarkan saat transaksi penukaran uang itu boleh-boleh saja asalkan dimaksudkan untuk jasa yang disediakannya. Untuk besaran tarifnya bisa disesuaikan lewat kesepakatan kedua belah pihak. Wallahu a'lam.
Sumber : detikhikmah.com