masukkan script iklan disini
Timor Tengah Selatan, penakita.info
Polemik seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) di lingkungan Sekretariat DPRD Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) sempat menjadi sorotan publik, memicu reaksi dari berbagai elemen masyarakat.
Dugaan pelanggaran prosedural, keterlibatan tenaga outsourcing, Yang memicu pemerintah Daerah dan sekrtaris DPDR TTS menjadi ketidak percayaan masyarakat kepada pemerintah minimnya transparansi menjadi pemantik kegelisahan dan ketidak percayaan publik terhadap sistem rekrutmen yang seharusnya menjunjung tinggi integritas daerah
Namun, dinamika yang sempat memanas itu perlahan menemukan titik terang. Langkah tegas Pemerintah Daerah TTS, respon cepat dari Bupati dan Wakil Bupati, serta dukungan pengawasan dari DPRD—khususnya Komisi I berhasil mengubah arus narasi dari kekecewaan menjadi apresiasi terhadap komitmen penegakan keadilan administratif.
Tulisan ini mengulas secara menyeluruh bagaimana polemik itu bermula, bagaimana berbagai pihak merespons dan turut mengintervensi proses, serta transformasi yang terjadi setelah penanganan dilakukan.
Sebuah potret "before and after" yang tidak hanya merekam konflik, tetapi juga menyuarakan harapan akan pemerintahan yang lebih transparan dan berintegritas.
Polemik ini mencuat pertama kali melalui laporan tim media pada 13 Februari 2025, dengan tajuk “Diduga Ada Manipulasi Data SPTJM, Sekwan DPRD TTS Dituding Meloloskan Outsourcing dalam Seleksi PPPK”. Berita ini langsung menyita perhatian masyarakat
Aktivis seperti Dony Tanoen, Niko Manao, dan Efrin Banu angkat suara. Mereka mendesak Sekretaris Dewan (Sekwan) untuk meninjau ulang dokumen SPTJM (Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak) yang diduga sarat manipulasi data.
Desakan tersebut mendapat tanggapan dari Komisi I DPRD TTS, yang kemudian menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan menghadirkan Sekwan, BPSDMD, dan Inspektorat. Dalam forum tersebut, meski Komisi I secara tegas meminta revisi terhadap SPTJM, permintaan itu diabaikan oleh Sekwan.
Sikap tertutup Sekwan makin memperkeruh suasana. Wartawan yang berupaya mengonfirmasi tidak mendapatkan jawaban, bahkan saat dimintai klarifikasi, Sekwan sempat mengatakan dalam RDP bahwa isu ini hanyalah “bahasa wartawan.” Dalam pesan singkat kepada jurnalis saat dikonfirmasi, Sekwan bahkan menulis pesan singkat “No comment.”
Atas dorongan DPRD, Inspektorat TTS akhirnya melakukan audit. Hasil Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) menyatakan bahwa 44 orang yang diloloskan dalam seleksi PPPK tidak layak karena merupakan mantan tenaga outsourcing. Temuan itu juga menyebutkan adanya potensi kerugian senilai kurang lebih enilai Rp1,6 miliar.
Pernyataan mengejutkan datang dari Londa Lona, salah satu mantan tenaga outsourcing. Ia mengungkap bahwa sejumlah nama dalam SPTJM adalah “penumpang gelap”—orang-orang yang tidak pernah bekerja di Sekretariat DPRD TTS.
Londa yang merasa suaranya tak digubris, kembali menggandeng para aktivis untuk mengawal isu ini.
Menjelang akhir Februari, isu ini memanas. Pimpinan DPRD TTS menggelar konferensi pers, namun Sekwan tetap bersikeras dan menyatakan, “Namanya juga kita manusia, kakak.
Pasti ada kurang-kurang.” kata Sekwan kepada wartawan. Kalimat sederhana itu, alih-alih menyejukkan, justru terasa seperti pengakuan samar atas kesalahan yang enggan diakui secara jujur.
Awal Maret, suasana semakin panas.
Sebuah isu viral menyebutkan 44 mantan tenaga outsourcing diberhentikan secara mendadak. Mereka menyebut pimpinan DPRD sebagai dalang, meski sebelumnya telah ditegaskan bahwa mereka akan tetap bekerja. Usut punya usut, pemberhentian itu dilakukan oleh Sekwan.
Keesokan harinya, Kamis, 6 Maret 2025, 44 orang tersebut menggelar aksi damai di lobi gedung DPRD dengan mengenakan pakaian serba hitam dan membawa tiga karangan bunga bertuliskan ucapan duka cita kepada pimpinan dan Komisi I DPRD TTS. Situasi memanas hingga terjadi adu mulut antara Wakil Ketua Komisi I dan salah satu mantan tenaga outsourcing.
Meski LHP telah diterbitkan, respons dari pemerintah sempat dinilai lamban. LHP kemudian diserahkan ke Bupati, yang memerintahkan Kepala BKPSDMD, Plt Inspektur, dan Staf Ahli Bidang Kesra untuk berkonsultasi ke BKN.
Setelah proses yang cukup berliku dan berbagai tudingan terhadap aktivis serta wartawan, titik terang akhirnya muncul.
Pada Selasa, 8 April 2025, Bupati TTS,
Eduard Markus Lioe, atau yang akrab disapa Buce Lioe, menyampaikan hasil konsultasi.
“Berdasarkan hasil konsultasi dengan BKN, dinyatakan bahwa 44 orang tersebut tidak dapat diakomodir sebagai PPPK dan hanya bisa kembali sebagai tenaga outsourcing,” tegas Buce kepada awak media di GOR Nekmese, Soe.
Ia juga menyebut bahwa tindakan manipulasi ini dilakukan oleh oknum tertentu yang kini tengah diproses.
“Dinas terkait sudah melakukan Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Laporannya sudah di meja saya dan akan segera kami kaji bersama Wakil Bupati dan Sekda untuk menentukan sanksi yang tepat,” tambahnya.
Bupati Buce memastikan bahwa seluruh proses akan dilalui dengan cermat agar keputusan yang diambil benar-benar adil dan objektif.
Polemik ini memang menyisakan luka, namun juga membuka mata. Publik menyampaikan apresiasi atas langkah tegas Pemerintah Daerah, namun sejumlah pihak juga menuntut agar persoalan manipulasi data SPTJM ini dibawa ke ranah hukum.
(Marti Honin)