masukkan script iklan disini
Buru, penakita.info
Insiden mengejutkan terjadi di Kabupaten Buru, Maluku, saat seorang perwira polisi berpangkat Ajun Komisaris Polisi (AKP), yang menjabat sebagai Kepala Satuan Lalu Lintas (Kasatlantas) Polres Buru, diduga kuat menghalang-halangi tugas sejumlah wartawan yang hendak melakukan peliputan Pemungutan Suara Ulang (PSU). Peristiwa yang terjadi di depan mata publik ini langsung menuai kecaman dan sorotan tajam dari berbagai pihak, terutama kalangan jurnalis dan pegiat kebebasan pers.
Kasatlantas Buru, AKP Aswan Prayoga, menjadi sorotan utama setelah tindakannya yang dianggap arogan dan tidak menghargai profesi wartawan terekam dan menjadi perbincangan hangat. Bagaimana mungkin seorang aparat penegak hukum, yang seharusnya melindungi dan memfasilitasi kerja media sebagai pilar demokrasi, justru bertindak sebaliknya? Pertanyaan ini menggelayuti benak banyak orang, menimbulkan tanda tanya besar mengenai pemahaman dan implementasi kebebasan pers di tingkat daerah.
Kejadian bermula ketika sejumlah wartawan dari berbagai media cetak dan daring berupaya mendekati lokasi PSU di TPS 02 Desa Debowae, Kecamatan Wailata, Kabupaten Buru. Tujuan mereka jelas, yakni untuk mengabadikan dan menyampaikan informasi penting terkait proses demokrasi kepada masyarakat luas. Namun, alih-alih disambut baik, para jurnalis ini justru dihadang oleh Kasatlantas Aswan Prayoga, yang bertindak seolah-olah ada sesuatu yang disembunyikan dari publik.
Ironisnya, penghadangan tersebut terjadi bukan di area steril tempat berlangsungnya PSU, melainkan di jalan raya yang berada tepat di depan balai desa. Tindakan Kasatlantas ini dianggap tidak masuk akal dan melampaui batas kewenangannya. Para wartawan yang hanya ingin menjalankan tugas jurnalistik mereka diperlakukan layaknya ancaman keamanan yang perlu diwaspadai secara berlebihan.
Perlakuan yang tidak pantas ini tentu saja menimbulkan kekecewaan dan kerugian besar bagi para wartawan yang bertugas. Mereka tidak dapat melaksanakan peliputan secara maksimal, sehingga informasi penting terkait PSU menjadi terhambat untuk sampai kepada masyarakat. Padahal, peran media sangat krusial dalam mengawal jalannya proses demokrasi yang transparan dan akuntabel.
Tindakan arogan Kasatlantas Buru ini semakin disayangkan karena bertentangan dengan arahan tegas dari Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Sang Jenderal telah berulang kali mengingatkan seluruh jajarannya untuk tidak mempersulit, apalagi menghalang-halangi tugas wartawan dalam mencari dan menyampaikan informasi kepada publik. Instruksi ini jelas menunjukkan betapa pentingnya peran media di mata pimpinan tertinggi kepolisian.
Atas perilaku yang dinilai tidak profesional dan melanggar aturan tersebut, Kasatlantas Aswan Prayoga dikabarkan akan dilaporkan ke Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Mabes Polri melalui Dewan Pers di Jakarta. Laporan ini juga akan ditembuskan kepada Kapolda Maluku di Ambon dan Kapolres Buru di Namlea, sebagai bentuk pertanggungjawaban atas tindakannya.
Perlakuan berbeda justru ditunjukkan oleh anggota kepolisian lainnya yang berjaga di pos-pos pengamanan yang berbeda. Para petugas di pos lain bersikap santun dan ramah, bahkan mempersilakan para wartawan untuk masuk setelah menunjukkan kartu identitas pers mereka. Kontrasnya sikap ini semakin menyoroti tindakan Kasatlantas Aswan Prayoga sebagai sebuah anomali yang tidak dapat dibenarkan.
Lebih lanjut, di pos pengamanan yang mengarah ke pasar Debowae, Kasatlantas yang bertubuh relatif pendek ini dengan nada tinggi dan mata melotot meminta para wartawan untuk menunjukkan Kartu Tanda Penduduk (KTP). “Mana KTP, kalau tidak ada KTP dilarang masuk, ini perintah atasan,” ucap Aswan dengan nada membentak, seolah-olah KTP adalah syarat mutlak bagi seorang jurnalis untuk meliput sebuah peristiwa di ruang publik.
Menurut Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Lebih lanjut, Pasal 4 ayat (3) menyatakan bahwa untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Tindakan menghalang-halangi wartawan dalam menjalankan tugasnya jelas merupakan pelanggaran terhadap undang-undang tersebut.
Selain itu, Pasal 18 ayat (1) UU Pers juga mengatur bahwa setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghalang-halangi atau mempersulit pelaksanaan tugas jurnalistik dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Jika terbukti bersalah, Kasatlantas Aswan Prayoga dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan ini.
Dewan Pers sebagai lembaga independen yang bertugas melindungi kemerdekaan pers dan meningkatkan kualitas jurnalisme di Indonesia, memiliki peran penting dalam menindaklanjuti kasus ini. Berdasarkan data terbaru Dewan Pers, kasus kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis masih menjadi perhatian serius. Pada tahun 2024, tercatat lebih dari 50 kasus pelanggaran terhadap kebebasan pers, termasuk di antaranya adalah upaya penghalangan peliputan.
Tindakan Kasatlantas Buru ini menambah daftar panjang kasus serupa yang mencoreng citra aparat penegak hukum di mata publik. Padahal, seharusnya polisi menjadi garda terdepan dalam melindungi hak-hak warga negara, termasuk hak kebebasan pers. Insiden ini menjadi pengingat bahwa pemahaman dan penghormatan terhadap peran media masih perlu ditingkatkan di berbagai tingkatan kepolisian.
Kasus ini diharapkan dapat menjadi pelajaran berharga bagi seluruh anggota kepolisian di Indonesia untuk lebih memahami dan menghargai tugas mulia para jurnalis dalam menyampaikan informasi yang akurat dan berimbang kepada masyarakat. Kebebasan pers adalah salah satu pilar penting dalam negara demokrasi, dan setiap upaya untuk menghalang-halanginya adalah sebuah kemunduran yang tidak dapat ditoleransi.
(Juna.dw)